Hari ulang tahun Mohammad Hatta atau kita akrab menyapa dengan Bung Hatta        yang ke-100, Senin 12 Agustus 2002 patut dirayakan oleh seluruh bangsa        Indonesia. Beliau Proklamator Kemerdekaan RI, bersama Bung Karno, berani        membubuhkan tanda tangannya pada naskah proklamasi yang mengantarkan kita        menjadi bangsa merdeka dan berdaulat, sejajar dengan bangsa-bangsa di        dunia. Beliau adalah Bapak Bangsa Sejati.
Keberanian membubuhkan tanda tangan itu bukan tanpa risiko. Oleh penjajah,        mereka bisa dituduh sebagai pemimpin pemberontakan, makar, penggulingan        kekuasaan, bahkan kemungkinan akan dinyatakan sebagai penjahat perang.        Sehingga tak heran bila ketika itu ada tokoh pergerakan kemerdekaan yang        secara terang-terangan menolak untuk membubuhkan tanda tangan.
Meskipun Jepang telah takluk dalam Perang Pasifik dan PD II, tetapi Jepang        masih belum memberikan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia. Di lain pihak,        Belanda yang telah lama menjajah kepulauan nusantara dan hanya 3,5 tahun        diselingi Jepang, masih bernafsu untuk kembali menduduki bekas koloninya.        Maka, bila rakyat Indonesia tidak bisa bertahan dan mempertahankan        kemerdekaan, Bung Karno dan Bung Hatta-lah yang paling dianggap        bertanggung jawab atas segala kekacauan dan peralihan kekuasaan        pemerintahan secara illegal.
Tetapi Bung Karno dan Bung Hatta telah yakin pada diri mereka, bangsa        Indonesia telah sadar akan arti pentingnya kemerdekaan. Bangsa Indonesia        akan mempertahankan kemerdekaan, bukan hanya untuk menyelamatkan mereka        berdua, tetapi menyelamatkan kebebasan dan kesempatan hidup berbangsa dan        bernegara secara berdaulat.         
Menyelamatkan harga diri bangsa. Proklamasi        kemerdekaan adalah ungkapan paling lantang akan semangat besar untuk hidup        sebagai bangsa yang berdiri sendiri dan tidak dikangkangi penjajah.        Proklamasi kemerdekaan, itulah hadiah terbesar yang diterima bangsa        Indonesia dari dua tokoh besar yang lahir satu abad silam.
Memperingati 100 tahun Bung Hatta, yang dilahirkan di Bukittinggi, 12        Agustus 1902 diwarnai dengan berbagai seruan untuk meneladani moralitas        Bung Hatta. Berbagai media massa mengkampanyekan paling tidak tiga nilai        baik Bung Hatta, santun, jujur, dan hemat. Nilai-nilai yang menjadi        kepribadian Bung Hatta itu sampai sekarang tentu masih sangat relevan        untuk dilaksanakan.
Sepanjang hidupnya, Bung Hatta berperilaku senantiasa menampilkan sikap        yang santun terhadap siapa pun. Baik kawan maupun lawan. Terhadap Bung        Karno yang pada masa sebelum kemerdekaan melakukan kerja sama cukup erat        namun kemudian mereka tidak dapat bekerja sama secara politik, tetapi        sebagai sesama manusia, Bung Hatta masih menghormatinya. Ketika Bung Karno        sakit, Bung Hatta menengoknya. Demikian pula sebaliknya. Kesantunan        menjadi sikap dalam hidupnya untuk saling menghargai.
Bila ada pejabat negara yang paling jujur, semua orang Indonesia akan        menyebut nama Bung Hatta. Bukan hanya jujur, tetapi ia juga uncorruptable.        Tak terkorupsikan, demikian menurut Jacob Utama, Pemimpin Umum harian        Kompas. Kejujuran hatinya membuat dia tidak rela untuk menodainya        melakukan tindak korupsi. 
Padahal, pejabat lain melakukan hal buruk itu.        Kalau saja ia mau melakukan korupsi, barangkali bukan hanya sepatu merek        Bally yang mampu dibelinya. Bisa saja ia memiliki saham di pabrik sepatu        dan berganti-ganti sepatu baru setiap hari. Tetapi, ia tidak melakukan        semua itu. Ia hanya menyelipkan potongan iklan sepatu Bally yang tidak        terbelinya hingga akhir hayat. Bila dilihat pada kondisi sekarang,        seharusnya masa lalu juga demikian, tentu hal ini merupakan sebuah tragedi.        
Seorang mantan wakil presiden, orang yang menandatangani proklamasi        kemerdekaan, orang yang memimpin delegasi perundingan dengan Belanda –negara        yang pernah menjajahnya—hingga Belanda mau mengakui kedaulatan Indonesia,        ternyata tidak mampu hanya untuk sekadar membeli sepasang sepatu bermerek        terkenal. 
Bahkan, dalam berbagai versi disebutkan, untuk membayar rekening        air dan listrik, Bung Hatta yang mengandalkan hidupnya dari uang pensiunan        seorang wakil presiden ternyata tidak cukup. Apalagi untuk membeli        keperluan lain, seperti sepatu, yang dianggap oleh dirinya sebagai        pemenuhan kebutuhan pribadi. Ia masih memikirkan kehidupan keluarga, istri        dan tiga orang anaknya.
Sampai akhir hayatnya Bung Hatta dikenal sebagai orang yang tetap        sederhana. Dengan pengalaman dan pergaulannya yang sangat luas, serta        memiliki pemahaman yang mendalam di bidang ekonomi, hukum, pemerintahan,        rasanya tidak akan sulit bagi Bung Hatta untuk berlaku tidak sederhana. Ia        bisa menjadi orang yang kaya secara materi, dan tidak perlu merasakan        kesulitan dalam hidupnya. Tetapi, visi keneragarawannya mengatakan dia        harus menjaga simbol kenegaraan. Bukan untuk dirinya sindiri. 
Maka, ia        menikmati hidup dari uang pensiun. Dengan jumlah yang tidak seberapa,        namun mampu melaksanakan gaya hidup yang hemat, uang pensiun itu “cukup”        menghidupinya sekeluarga. Bagi Bung Hatta, tentu saja sangat mudah        menerima tawaran bekerja dari berbagai perusahaan, baik lokal maupun        internasional. Tetapi, bagaimana dengan citra wakil presiden. Bagaimana        mungkin seorangmantan wakil presiden menjadi konsultan perusahaan A.        Apakah hal itu tidak memunculkan bias dalam persaingan usaha, mengingat        hebatnya pengalaman Bung Hatta? Inilah yang Bung Hatta hindari. Ia ingin        menjaga nama baik. Bukan hanya dirinya sendiri, tetapi nama baik bangsa        dan negara.
Dalam catatan yang ditulis Meutia Farida Hatta Swasono, putri sulung Bung        Hatta, keluarga Bung Hatta memang bukan keluarga yang mengejar kemewahan        hidup. Bukan hanya Bung Hatta yang memiliki pikiran dan sikap demikian,        juga istrinya Ny Rahmi Hatta. “Kita sudah cukup hidup begini, yang kita        miliki hanya nama baik, itu yang harus kita jaga terus,” tulis Meutia        menirukan kata ibunya (Kompas, 9/8/2002).
Sebagai orang yang memiliki kesempatan memperoleh pendidikan lebih tinggi        dibanding saudara-saudaranya sebangsa dan setanah air, Hatta merasa        memiliki kewajiban untuk ikut menyebarkan pemikiran dan pemahaman,        terutama dalam hal kehidupan dalam sebuah negara merdeka. Ia banyak        menulis tentang bagaimana sengsaranya rakyat yang hidup dalam jajahan        bangsa lain. Sebaliknya, bangsa yang menjajah hanya tinggal menikmati        hasil dari keringat rakyat yang dijajah. Dalam sistem ini, secara tegas        Hatta tidak melihat adanya keadilan.
Untuk menyadarkan rakyat akan pentingnya arti kemerdekaan, bukan hal yang        mudah. Jauh lebih sulit lagi ketika harus menjelaskan apa yang boleh        diperbuat dan apa yang tidak boleh dilakukan ketika sudah merdeka. Rakyat        Indonesia harus memiliki kesamaan pandang dalam menatap masa depan. Untuk        itu rakyat perlu dididik. Yang paling mendasar adalah mereka bebas dari        buta huruf, baca dan tulis. 
Sehingga pengetahuan mereka akan terus terbuka        dengan membaca berbagai informasi yang beragam. Diharapkan nantinya akan        muncul pemahaman yang baik mengenai perjalanan mengisi kemerdekaan. Tentu,        membaca tidak akan berguna banyak bila tidak ada bahan bacaan. Maka, Bung        Hatta secara konsisten membuat tulisan yang menggugah semangat kemerdekaan,        mewujudkan cita-cita negara setelah kemerdekaan, mengelola negara dengan        baik agar tidak malah menyusahkan rakyat di era yang sudah merdeka,        meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan berbagai tulisan lainnya.
Antara tulisan dan perbuatan Bung Hatta dengan sikap dan tindakannya tidak        terjadi pertentangan. Ia adalah orang yang konsisten menjalankan sikap        yang telah diambilnya. Tak perlu heran ketika tiba-tiba Bung Hatta        mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden RI pada 1 Desember 1956,        karena merasa tidak cocok lagi Bung Karno yang menjadi presiden. Ia        menganggap Bung Karno sudah mulai meninggalkan demokrasi dan ingin        memimpin segalanya. Sebagai pejuang demokrasi, ia tidak bisa menerima        perilaku Bung Karno. Padahal, rakyat telah memilh sistem demokrasi yang        mensyaratkan persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga negara dan        dihormatinya supremasi hukum. 
Bung Karno mencoba berdiri di atas semua itu        dengan alasan rakyat perlu dipimpin dalam memahami demokrasi dengan benar.        Jelas, bagi Bung Hatta ini adalah sebuah contradictio in terminis. Di satu        sisi ingin mewujudkan demokrasi, sedangkan di sisi lain duduk di atas        demokrasi. Pembicaraan, teguran, dan peringatan terhadap Bung Karno,        sahabatnya sejak masa perjuangan kemerdekaan, telah dilakukan. Tetapi,        Bung Karno todak berubah sikap. Hatta pun tidak menyesuaikan sikap dengan        Bung Karno. Karena merasa tidak mungkin lagi menjalin kerja sama, akhirnya        Bung Hatta memilih mengundurkan diri dan memberi kesempatan kepada Bung        Karno untuk membuktikan konsepsinya.
Publik kemudian tahu, konsepsi Bung Karno ternyata mampu dimanfaatkan        dengan baik oleh PKI dan Bung Karno jatuh dari kursi presiden secara        menyakitkan. Namun, hal iu ternyata tidak berarti kesempatan akan        diberikan kepada Hatta untuk membuktikan konsepsinya yang berbeda dengan        Bung Karno. Hatta tak pernah kembali ke posisi eksekutif bangsa. Meskipun        demikian, semua itu tidak mengurangi hasa hormat bangsa Indonesia pada        Bung Hatta sebagai orang besar yang berjasa besar terhadap bangsa ini. 
Bung Hatta memang tidak pernah menjadi presiden republik ini meski bila        ditinjau dari jasa, pengetahuan, peran, dan risiko yang diambilnya, ia        layak untuk menduduki jabatan itu. Kesempatan memang tidak datang padanya.        Tetapi, ia telah menjadi bapak bangsa dengan moralitas tinggi. Ia adalah        cermin dari tokoh yang lurus dan bersih serta memiliki nama baik yang        senantiasa dijaganya. Sampai kini, nama Bung Hatta tetap baik dan harum di        sanubari Bangsa Indonesia.
..:: Tanpa Memilih ::..
Rabu, 15 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar